Persidangan Kasus Pelecehan Seksual Santriwati Diduga Diintervensi oleh Pihak Ponpes

Lombok Tengah – Persidangan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap tiga santriwati di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), diduga mengalami intervensi dari pihak pondok pesantren tersebut. Hal ini disebabkan oleh ketidakhadiran para korban dalam persidangan yang melibatkan terdakwa berinisial TQH, pimpinan pondok pesantren tersebut.

Ketua Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB, Joko Jumadi, menyatakan keprihatinannya atas ketidakhadiran para korban yang masih berstatus sebagai santriwati di pondok pesantren tersebut. Menurutnya, kecil kemungkinan anak-anak tersebut secara mandiri memutuskan untuk tidak hadir di persidangan.

“Karena ini kan masih anak-anak ya, saya pikir tidak mungkin anak-anak punya inisiatif untuk tidak mau datang (ke persidangan),” ujar Joko Jumadi.

Joko juga mengungkapkan bahwa Kejaksaan Negeri (Kejari) Lombok Tengah telah mengirimkan surat panggilan kepada para korban, dan mereka awalnya menyatakan akan hadir. Namun, pada hari persidangan, mereka tidak muncul. Hal ini menimbulkan dugaan adanya intimidasi atau upaya dari pihak pondok pesantren melalui keluarga korban untuk menghalangi kesaksian mereka di pengadilan.

“Pada saat diantarkan panggilan, mereka bilang akan datang. Tetapi, pada saat hari H mereka kok menghilang. Dari gelagat itu, kami menduga ada intimidasi dan upaya dilakukan pihak ponpes melalui keluarga untuk menghalangi saksi korban untuk bersaksi di pengadilan,” tambah Joko.

Joko meminta pihak kepolisian untuk menyelidiki dugaan intervensi tersebut. Ia menilai bahwa tindakan menghalangi proses hukum dapat dijerat dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Ini sudah minggu ketiga (dan) masuk minggu keempat, mereka bilang akan datang, tetapi tidak pernah datang. Rabu depan ini panggilan terakhir secara baik-baik. Kalau misalkan tidak datang, maka terpaksa kami dari LPA akan melaporkan tindak pidana penghalangan ini,” tegas Joko.

Pelaksana Harian (Plh) Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Lombok Tengah, Sofian, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan upaya pemanggilan secara resmi kepada para korban. Namun, hingga saat ini, mereka belum memberikan kesaksian di persidangan.

Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, terutama dalam lingkungan pendidikan berbasis agama. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk lembaga perlindungan anak dan aparat penegak hukum, sangat diperlukan untuk memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah terjadinya intervensi yang dapat menghambat proses hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Dua Mahasiswa Asal Surabaya Curi Motor dan HP di Tabanan, Ditangkap Polisi Saat Bersembunyi di Proyek Rumah di Badung

Sab Mei 24 , 2025
Tabanan, Bali – Kasus pencurian sepeda motor dan dua unit handphone kembali mengguncang wilayah Bali. Kali ini, dua pemuda asal Surabaya yang masih berstatus sebagai mahasiswa ditangkap oleh aparat kepolisian setelah terbukti mencuri kendaraan dan gadget milik warga di kawasan Baturiti, Tabanan. Pelaku Beraksi di Banjar Tinungan, Tabanan Aksi pencurian […]

You May Like